Oleh: Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012
Jakarta – Beberapa waktu belakangan, viral diberitakan tentang dugaan pemalakan yang dilakukan oknum penyidik di Subdit IV Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berinisial BS (1). Perilaku tersebut merupakan salah satu poin yang dilarang Kapolri yang disampaikan melalui Surat Telegram Nomor ST/3326/XI/HUK.7.1./2020 tertanggal 27 November 2020.
Dalam surat yang ditandatangani Kadiv Propam Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo itu disebutkan bahwa personel Polri dilarang melakukan pungutan liar. Juga, aparat kepolisian dilarang melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang bisa merusak citra Polri (2).
Merespon hal tersebut, Tim Cacing Tanah PPWI mencoba menelusuri kebenaran informasi dan keberadaan sebuah bangunan hasil malak yang santer tersebut pada Senin, 30 November 2020. Upaya mendapatkan informasi dan data detail serta barang bukti hasil pemalakan akhirnya membawa tim kecil ini ke sebuah daerah persawahan yang cukup asri. Walau merupakan daerah persawahan, namun di wilayah tersebut telah banyak bermunculan bangunan baru di kiri-kanan jalan menuju bangunan sasaran.
Pencarian membuahkan hasil. Tim menemukan sebuah bangunan yang belum lama selesai dibuat. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 500 meter persegi. Bentuknya berupa rumah toko (ruko) tiga pintu yang dicat dominan warna putih. Pintu rolling door yang menjadi penutup luar tiga pintu ruko tersebut dicat warna biru, cukup kontras dengan warna bangunan. Seluruh areal lahan 500 meter persegi ini dipagar keliling.
Dari keterangan seorang aktivis pemuda setempat, disebutkan bahwa bangunan yang menutupi 500-an meter persegi areal persawahan itu diduga tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). “Sejak awal pembangunannya tidak terlihat ada plang informasi terkait izin pembuatan bangunan di situ,” ujar pemuda yang merupakan pimpinan ormas lokal yang sempat dijumpai di lokasi (3).
Berdasarkan keterangan dari Ketua RT setempat (3), bangunan yang berdiri di Kampung Rawa Ragas RT.12 RW.06 Desa Bojong Kecamatan Klapa Nunggal, Cileungsi – Citeurep, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini adalah milik seseorang yang bertugas di Jakarta. Informasi dari narasumber terpercaya lainnya yang kami jumpai di sana mempertegas bahwa bangunan itu milik seorang polisi berpangkat AKBP yang bertugas di Mabes Polri, Jakarta (3).
Dari penelusuran lebih lanjut, narasumber kami tersebut bercerita bahwa seluruh biaya pembangunan ruko 3 pintu itu berasal dari seorang pengusaha di Cikande. Sebelumnya, Tim Cacing Tanah ini mendapatkan informasi bahwa seorang pengusaha batu bata ringan (hebel) di Cikande, Serang, Banten, telah dimintai (lebih tepatnya dipalak) oleh seorang polisi bernama AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH untuk membangun ruko di daerah Bogor (4).
Modus Binsan Simorangkir dalam melakukan pemalakan pungli terhadap korban adalah dengan mendatangi pengusaha target di tempat usahanya. Binsan datang dengan alasan mau mengadakan pemeriksaan lapangan atas kasus yang sedang ditanganinya.
Kebetulan saat itu, penyidik bergelar doktor ini sedang menangani perkara laporan polisi yang melibatkan salah satu direktur dari perusahaan produksi hebel tersebut. Sebagaimana umumnya modus kunjungan lapangan selama ini, pasal UUD (ujung-ujungnya duit) muncul ke permukaan.
Sebagai seorang yang salah satu direkturnya, yang adalah juga adik kandungnya sendiri, sedang ‘ditangani’ oleh penyidik dari Mabes Polri itu, sang pengusaha hebel ini akhirnya pasrah mengikuti kemauan dan arahan sang penyidik Binsan Simorangkir.
Sesuatu hal yang amat mustahil untuk menolak keinginan penyidik yang secara jelas mengisyaratkan ‘kalau gak ngasih, gue kempesin perut adik lu di sel di kantor gue’ itu. Sampai di sini, paham?
Cerita selanjutnya, tidak kurang dari dua truk batu bata ringan atau hebel berukuran standar meluncur kencang dari Cikande ke Cileungsi, Bogor. “Untuk bahan selain batu hebel, seperti besi, seng, semen, paku dan lainnya, kita beli sendiri dari toko bangunan sekitar sini,” jelas narasumber yang tidak lain adalah tukang bangunan yang memborong pengerjaan ruko tersebut.
Dananya dari mana? “Semua dari pengusaha di Cikande itu, dia transfer dananya, kita beli bahannya di sini,” ulas tukang bangunan tersebut.
Total biaya untuk keseluruhan bangunan ini? “Kurang-lebih 200 jutaan,” katanya singkat.
Pak Kapolri Idham Azis, sekali lagi saya berpesan, mohon dengan sangat, di ujung pengabdian menjelang lengser keprabon ini, tidak perlu banyak gaya, banyak bicara, apalagi banyak gertak.
Silahkan tindak oknum-oknum penyidik di Direktorat Tidak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri itu. Salah satunya adalah AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH. Dia tentu tidak kerja sendirian. Mohon bereskan institusi Polri dari perilaku bejat para oknum semacam itu sebelum Anda istrahat.
Perilaku Binsan yang bergelar doktor namun tidak mencerminkan tingkat pendidikan tingginya itu, jelas-jelas merusak citra Polri. Ia telah melakukan pungutan liar serta penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan pasal-pasal UUD (ujung-ujungnya duit) dan KUHP (kasih uang habis perkara).
Caranya memalak cukup unik. Strategi kejahatan ini semestinya dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dia tidak memeras atau mengambil uang korban (pengusaha), tapi berbentuk barang atau bangunan. Ruko di Bogor itu sudah sempat disewakan kepada penyewa selama 2 bulan. Uang sewa ruko tentunya berlabel ‘uang halal’ bukan hasil kejahatan.
Demikian laporan ini disampaikan, Jika Pak Kapolri butuh tambahan informasi detail, seperti foto, video, screenshot percakapan, dan sejenisnya, silahkan hubungi lagi call center *001#. Terima kasih. (WL).