Interopabiliti Untuk Negeri
Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo (Kasdam III Siliwangi)
Hari ini, Senin Wage (5/10/2020), merupakan suatu momen rakyat Indonesia dalam memperingati hari lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemeriahan hari ulang tahun yang ke 75 tahun ini, mengusung tema “Sinergi Untuk Negeri”. Sekilas dari slogan tersebut, tampak korelasi peran penting berkelin dan dengan realitas saat ini. Realitas yang memang membutuhkan sinergi.
Dengan tema HUT tahun ini, sudah sangat jelas bahwa, kata sinergi diartikan sebagai upaya kerjasama terus menerus oleh seluruh komponen bangsa, meskipun jaman berubah, tahun berganti, problem yang dihadapi pun tentunya ikut serta sepaket dengan dinamika.
Terutama, jika dikaitkan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang terus menghembuskan kekhawatiran dan ketakutan dalam keutuhan kesatuan NKRI.
Tulisan ini adalah bagian dari upaya untuk menunjukkan komitmen kuat TNI dalam mengisi terjadinya ruang kosong di masyarakat, dengan basis kesatuan dengan rakyat dan mendukung Ketahanan Nasional (Tannas).
Selain sinergi harus pula disokong oleh komitmen bersama untuk saling menguatkan, Interopabiliti, kesadaran semua aspek akan peran dan tanggungjawab masing-masing. Kunci dari sinergi sebetulnya adalah berperan sesuai tupoksi, saling menguatkan dan saling menunjang. Semua untuk satu tujuan, bukan melemahkan.
Kenapa hal tersebut perlu dimunculkan? Realitas sudah tampak di depan mata. Kita memiliki banyak unsur dalam bernegara, tapi apakah kita sudah bersinergi? Apakah interopabiliti antar masing-masing unit sudah berjalan? Sudah saling menguatkankah kita semua? Itulah pertanyaan untuk sinergi, dan itulah perlunya interopabiliti.
Ancaman dalam bernegara juga semakin jelas. Tidak hanya ancaman militer secara fisik, tapi lebih kuat lagi tekanan secara virtual, tanpa kasat mata, namun menyasar sendi-sendi berbangsa. Nasionalisme kita jadi taruhannya, dan yang paling gencar diserang adalah tiang-tiang bernegara itu sendiri. Aparatur negara (TNI, Polri, BIN, ASN) banyak dicecar serangan proxy semacam ini.
Begitu juga berbagai komponen cadangan di masyarakat, terus dirongrong, yang kadang tanpa disadari.
Oleh karena itu, beberapa hal di bawah ini patut jadi catatan.
Pertama, Komitmen Tetap. Serigkali muncul tudingan bahwa kecintaan dan keyakinan pada ideologi negara telah mengalami pergeseran. Ini semua terkait dengan dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kita harus secara sadar memahami kegagapan ini, padahal, sudah ada konsensus Pancasila sebagai cara pandang hidup.
Mungkin kita hanya hapal sila-sila Pancasila, akan tetapi berkeadilan sosial belum konsisten. Sudah barang tentu ada persoalan lain yang tidak kalah kompleks. Ini terkait, misalnya, dengan cara bangsa kita merespons arus globalisasi agar Indonesia tetap kokoh dan bangga dengan keindonesiaannya.
Persoalan yang tidak kalah penting, mengingat kelompok sangat rentan untuk menjadi sasaran “empuk”, target dan objek yang disasar, baik dalam konteks ekonomi, termasuk kecintaan terhadap Negara tetap terpatri indah di benaknya.
Tidak lain, mereka adalah generasi milenial. Padahal, mereka ini akan menjadi saksi hidup apakah asa itu terwujud atau tidak pada 2045. Bahkan, karena generasi ini akan menjadi penentu kehidupan sebuah Negara di masa depan. Mereka inilah yang nantinya, dimasa depan, akan menjadi calon-calon pemimpin di Negara ini.
Perubahan besar terkait dengan demokratisasi, penegakan rule of law, Hak Asasi Manusia, kesadaran ekonologis, begitu menyeruak dalam tatanan dunia saat ini. Akibatnya, masyarakat bergerak ke ruang lain, seakan tercabut dari modal sosial yang menjadi ciri khasnya.
Momen hari ini harusnya dijadikan sebagai titik balik sekaligus mengisi kekosongan yang terus terjadi ditengah masyarakat.
Sejalan dengan itu, adanya pergeseran yang sifatnya egoisme individu, mendahulukan diri sendiri, tak peduli dengan sekitarnya, ikut serta mewabahi dinamika dan mengintensifikasi kondisi masyarakat begitu nyata.
Kita berada pada posisi bernegara bersama-sama, penting menunjukkan komitmen bersama. Karena hakikat ketahanan nasional adalah kuat di semua sisi, dan didukung oleh semua komponen bangsa.
Tidak bisa bicara Tannas, jika tangan masih menengadah ke orang lain. Indonesia mampu, dibuktikan dengan kerja nyata, disitulah Ketahanan Nasional ditunjukkan.
Kedua, TNI bersama rakyat. Ada anggapan bahwa hilangnya rasa kesatuan dan sinyalemen memperlemah kesatuan TNI-Rakyat terus dilakukan. Ini memang perang cyber, yang mungkin sekali masuk ke wilayah tersebut. Bukan kebetulan dan kesengajaan jika berbagai kasus terjadi yang sebetulnya sangat identik dengan keinginan untuk memisahkan kesatuan TNI-Rakyat tersebut.
Banyak aspek, terkait sisi iklim sosial politik dan budaya yang dalam beberapa sisi mendorong itu terjadi. Tentu bukan dalam konteks kesatuan berbangsa, tapi kepentingan sekelompok orang. Melemahkan TNI-Rakyat adalah sasaran paling strategis, tetapi tentu TNI sudah menyadari itu, karena itu komitmen tentara rakyat tak akan terbantahkan.
Melalui metode Binter yang selama ini dilakukan cukup sukses, karena dimodifikasi sesuai dengan kondisi masyarakat alami. TNI yang berbasis masyarakat, ditegaskan berada pada akar pondasi dan posisi ini. TNI adalah tentara rakyat, harus dan wajib memiliki kedekatan dengan rakyat.
Kewajiban itu dapat dilakukan, jika kita sebagai bangsa memiliki kebanggaan nasional (National Pride). Kebanggaan nasional dapat dibangkitkan dari ikatan yang selama ini berasal dari masa lampau. Karena itu, tidak bisa dirubah dan akan terus saling bahu-membahu.
Ketiga, jalan suksesnya kehidupan berbangsa adalah sadar akan ancaman, siaga terhadapnya, dan bersama menciptakan sistem yang menguatkan. Indonesia sudah memiliki aparatur yang lengkap.
Kita punya TNI, Polri, BIN, komponen cadangan di level masyarakat, serta ditambah lagi dengan berbagai lembaga ad hoc semacam komisi-komisi yang sengaja di bentuk. Semua itu harusnya berjalan bersama-sama sesuai tugas pokok dan fungsinya. Itulah sinergi. Pondasi sinergi adalah berjalan sesuai relnya masing-masing, bukan justru melompat ke wilayah lain.
Sinergi dan interopabiliti tidak mudah diterapkan, sebagaimana juga para pakar manajemen sering berkata bahwa koordinasi itu mudah diucapkan tapi sulit dilakukan.
Itulah kita. Tetapi semua tak boleh berhenti, hidup harus tetap berjalan. Suara-suara untuk senantiasa menguatkan sinergi itu harus terus dikencangkan, sekaligus juga ketegasan pimpinan untuk mengawal sinergi juga digerakkan.
Sebagai konklusi dari tulisan ini adalah mengutip statemen dari panglima Jenderal Soedirman “tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu”.
Dengan kata lain, jika direntang dari masa ke masa, peran TNI AD, sesuai dengan metode BINTER yang selama ini menjadi ciri khas, sebagai implementasi dari ketentuan tentara rakyat dan tentara memang berorientasi pada rakyat sekitarnya. Karena pada faktanya, rakyat yang kuat dengan sendirinya akan menciptakan TNI yang kuat pula.***