Ilustrasi penangkapan terduga teroris. (ANTARA FOTO/M N Kanwa) |
“Bibit bibit terorisme itu sudah lama dan masih tumbuh subur sampai sekarang. Mereka mempertahankan fenomena-fenomena lama untuk mempertahankan eksistensinya,” ucapnya dalam acara diskusi virtual bertema “Radikalisme & Hate Speech di Tengah Pandemi”, Senin (27/4).
Ideologi radikalisme di Indonesia sering diidentikkan dengan agama Islam. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga dinilai memiliki potensi besar untuk melakukan regenerasi kelompok radikal yang berimbas pada aksi terorisme.
“Kalangan milenial paling mudah diajak untuk melakukan aksi radikalisme,” ujarnya.
Kelompok radikal ini juga cenderung menggunakan metode moderat yang berbasis pada internet, untuk menyebarkan konten-konten yang melawan pemerintah, dalam rangka _brain storming_ kepada para generasi milenial yang cenderung menggunakan internet sebagai sumber informasi.
“Sasaran kelompok radikalisme menggunakan internet sebagai media penarik simpati, karena sasaran mereka adalah kaum milenial,” tegasnya.
Disisi lain, momentum Ramadhan juga tidak luput menjadi ladang radikalisme bagi kelompok tersebut. Caranya adalah dengan melakukan _hate speech_ sebagai eksistensi pertentangan terhadap pemerintah, kemudian menghadirkan solusi sesuai dengan ideologi mereka.
“Momentum Ramadhan seperti ini dimanfaatkan kelompok-kelompok radikalisme untuk melakukan hate speech pada kebijakan pemerintah, kemudian memberi solusi-solusi yang seolah-olah menjadi solusi tunggal namun sebenarnya mengarah pada penegakan ideologi lain seperti khilafah,” tegasnya.
Beberapa hari sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri menangkap seorang terduga teroris di Sidoarjo, Jawa Timur pada Minggu 26 April 2020 dan tiga terduga teroris di Serang, Banten pada Senin 27 April 2020. Juru Bicara Polri, Brigjen (Pol) Argo Yuwono mengatakan barang-bukti yang disita diantaranya notebook, HP, catatan ,dan tiga buku.***