Oleh : Budi Usman,
Direktur Eksekutif Komunike Tangerang Utara
Penduduk Kabupaten Tangerang dan sekitarnya tertegun dan bingung, bangun tidur dikepung oleh banjir. Hari pertama tahun 2020 pula. Sesuatu yang sebenarnya sudah bisa diketahui dan pahami.
Banjir memang rutin menghampiri Kabupaten Tangerang , nyaris setiap musim penghujan, ga perduli siapa Bupatinya. Sejak dulu ya begitu itu dan itu menjadi pengetahuan dan pemahaman kita semua,
Tetapi pengetahuan dan pemahaman akan terjadi banjir sewaktu waktu di , tidak mendorong untuk mengadakan persiapan yang maksimal.
Ternyata Banjir akibat luapan sungai Cisadane menjadi langganan rutin warga desa Tanjung Burung di Kecamatan Teluknaga, dan desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji serta beberapa desa di kecamatan Kosambi seperti kawasan pergudangan Dadap dan salembaran Jati
Namun, banjir yang terjadi diawal tahun 2020 ini disebut Camat Teluknaga Supriyadinata seperti di wartakan Tangerangnews 2/1/2020 yang terparah dibandingkan tahun sebelumnya. Sebab, ada dua desa lainnya yang juga turut terendam.
Biasanya kalau Cisadane meluap yang rutin terkena banjir desa Tanjung Burung. Tapi kali ini sampai menggenangi sebagian wilayah desa Teluknaga dan desa Bojong Renged.
Dua desa biasanya tidak sampai tergenang banjir, meski hujan deras atau pun Cisadane meluap.
Dua desa itu tidak biasanya kena (banjir). Seumur-umur sekarang kena. Berarti desa Tanjung Burung pun terdampaknya lebih luas, desa Pangkalan juga terdampak di desa kampung Melayu Barat.
Pengetahuan dan pemahamannya tidak beranjak secara fungsional pada perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dgn sistemik.
Maka banjir menimbulkan korban dan menebarkan pengaruh yang luas pada kerugian struktur ekonomi dan sosial.
Masalah klasik Banjir khususnya sepanjang sungai Cisadane sejak dulu sebenarnya. Banjir menjadi tradisi ancaman yang bersifat laten. Tapi jika dilakukan penanganan yang sistemik dan berkelanjutan sepanjang tahun, dampak banjir diyakini tidak akan meluas dan memberi konsekwensi yang dalam.
Ini bisa diukur dengan hujan sepanjang hari sejak sore kemarin yang sebenarnya tidak besarl. Tetapi secara klasik memang ada kiriman air hujan dari bogor yang selalu menimbulkan masalah bagi Tangerang
Geliat para pelaku bisnis mulai mengincar daerah di pinggiran Jakarta, seperti Kabupaten Tangerang. Salah satu daya tarik Kabupaten Tangerang adalah dekat dengan Jakarta dan memiliki daerah industri yang tertata.
Potensi kelautan di wilayah Bagian Utara belum tergali maksimal. Dengan panjang pantai yang lebih dari 51 kilometer, bisa dibayangkan besarnya potensi kawasan pergudangan, properti, niaga, pariwisata dan industri kelautan di Kabupaten Tangerang.
Idealnya, secara legal formal pemerintah pusat cq Kementeian ATR BPN, Pemprov Banten dan Pemkab Tangerang Komisi Amdal Kementerian LHK RI perlu menolak usulan revisi tata ruang kabupaten Tangerang yang banyak terindikasi menggerus area konservasi hijau yang merupakan area resapan air dan pencegahan banjir semacam lahan pertanian dan Empang yang merupakan episentrum resapan air serta menolak juga pemerakarsa AMDAL yang langgar Tata ruang.
Karena ternyata secara faktual belum terbitnya konsideran legal dari Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah atau RTRW Kabupaten Tangerang dan belum terbitnya Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Banten RZWP3K Ini menjadi sangat penting untuk keselarasan dan kajian konsideran mengenai pola ruang dan pemanfaatannya yang pro publik.
Apalagi adanya implikasi dari banyak lahan persawahan lahan produktif yang terpakai untuk perlintasan rencana pembangunan, Jadi, harus ada kajian akademis dan yuridis termasuk belum terbit pengesahan Perda RTRW Kabupaten Tangerang yang saat ini masih di evaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri, juga terkait belum terbitnya Raperda Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP3K) Banten yang masih dalam pembahasan pansus DPRD Banten.
Belum lagi bicara implementasi UU 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan serta kompensasi yang tidak jelas perihal lahan pertanian pengganti karena luasan yang berkurang.
Terkait menunjang pembangunan di Kabupaten Tangerang dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), perluasan lahan Bandara Soetta, ermasuk Tol Kataraja, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten saat ini sedang mengevaluasi draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang dan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir agar selaras dengan Pemprov Banten dan pemerintah pusat.
Mantan epala Bappeda Banten, di era Hudaya Latuconsina dalam statemennya, mengatakan bahwa RTRW Kabupaten Tangerang sebelum menjadi lembaran daerah pengesahannya akan dievaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri.
Ada sekitar 11,8 persen penyesuaian yang akan dilakukan oleh pihaknya untuk menyelaraskan RTRW Banten dengan kebijakan pemerintah pusat.
Saat ini 11 persen sudah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat, 0,8 persen lainya sedang disesuaikan.
Saat disinggung soal, apakah revisi ini juga mempengaruhi besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bappeda Banten, 11/11/2017 menyatakan Pemprov Banten akan mempertahankan sekuat tenaga keberadaan LP2B di Provinsi Banten.
Kebijakan Gubernur Banten WH patut disyukuri karena Pemprov Banten sangat konsen akan perlindungan pertanian dan konservasi air serta pesisir.
Dalam perda Nomor 5/2017 mengenai RTRW Banten untuk jumlah RTH belum terlihat transparan berapa persentasenya. Kalau untuk besaran jumlah lahan pertanian di Banten sekitar 162.000 hektar. Kita harapkan dijaga, jangan sampai LP2B Kabupaten Tangerang seluas 29.295 ha diganggu, apalagi sudah ada Perda Perlindungan Pertanian Banten Nomor 5/2014.
Maraknya alih fungsi wilayah resapan air di area lahan konservasi air dan pertanian yang tidak terkendali di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten diduga akan mengancam dampak ekologis seperti intrusi air laut dan Banjir serta kelestarian swasembada pangan dan merosotnya produktivitas pertanian .
Tidak ada perubahan, LP2B untuk lahan pertanian di Banten. masih mengacu kepada Perda Perlindungan Lahan LP2B Provinsi Banten Nomor 5 Tahun 2014 dimana sudah jelas di Pasal 11 ayat 1, luas lahan LP2B yang ditetapkan 169.515,47 ha.
Seharusnya juga Gubernur melalui Dinas Pertanian Banten juga menjelaskan, alih fungsi lahan di Banten harus dicegah, kerena sudah diatur oleh pemerintah sesuai dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Saatnya segenap masyarakat penggiat serta legislatif dan negara mempunyai komitmen yang sama terhadap penegakan konsistensi hak publik, yang gandrung mengedepankan dampak minimun, serta implikasi negatif dari pembangunan yang tidak pro lingkungan hidup dan rencana kawasan strategis nasional dimana tidak lengkapnya konsideran RTRW dan Perda Zonasi Pesisir yang diduga tidak selaras dan bertentangan dengan RTRW Nasional, RTRW Banten dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP2K).
Penelitian Anna Karenina dari Institut Pertanian Bogor pada 2016 merekam laju ekstrem perubahan lahan di Tangerang. Penelitian itu, yang merujuk pada naskah RTRW Kabupaten
2011-20131, mencatat luas lahan sawah di Kabupaten Tangerang yang ada saat ini mencapai 37.255 hektare, namun yang ‘dipertahankan’ dalam RTRW hanya seluas 29.295 hektare.
Dengan kata lain, terdapat sekitar 7.960 hektare lahan sawah yang didukung perubahan fungsinya oleh RTRW. Padahal, Kabupaten Tangerang termasuk lumbung pangan nasional, dengan pertanian tercatat sebagai penyumbang terbesar kedua pada pendapatan asli daerah, setelah industri pengolahan.
Gambaran itu sekaligus menghadirkan paradoks baru. Padahal, sudah ada aturan yang mencegah terjadinya pengalihan lahan demi mepertahankan kemandirian wilayah serta lingkungan. Aturan itu termasuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Bahkan, untuk memperkuat aturan itu, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga telah mengesahkan sebuah beleid yang mencakup perlindungan bagi petani, termasuk pemberian asuransi atas kegagalan panen.
Saatnya moratorium atau penghentian dengan segera alih fungsi lahan hijau khususnya Tangerang Utara segera di laksanakan demi terwujudnya program Tangerang gemilang yang mengedepankan kepentinangan ketahanan pangan.***
Apalagi adanya implikasi dari banyak lahan persawahan lahan produktif yang terpakai untuk perlintasan rencana pembangunan, Jadi, harus ada kajian akademis dan yuridis termasuk belum terbit pengesahan Perda RTRW Kabupaten Tangerang yang saat ini masih di evaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri, juga terkait belum terbitnya Raperda Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP3K) Banten yang masih dalam pembahasan pansus DPRD Banten.
Belum lagi bicara implementasi UU 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan serta kompensasi yang tidak jelas perihal lahan pertanian pengganti karena luasan yang berkurang.
Terkait menunjang pembangunan di Kabupaten Tangerang dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), perluasan lahan Bandara Soetta, ermasuk Tol Kataraja, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten saat ini sedang mengevaluasi draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang dan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir agar selaras dengan Pemprov Banten dan pemerintah pusat.
Mantan epala Bappeda Banten, di era Hudaya Latuconsina dalam statemennya, mengatakan bahwa RTRW Kabupaten Tangerang sebelum menjadi lembaran daerah pengesahannya akan dievaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri.
Ada sekitar 11,8 persen penyesuaian yang akan dilakukan oleh pihaknya untuk menyelaraskan RTRW Banten dengan kebijakan pemerintah pusat.
Saat ini 11 persen sudah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat, 0,8 persen lainya sedang disesuaikan.
Saat disinggung soal, apakah revisi ini juga mempengaruhi besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bappeda Banten, 11/11/2017 menyatakan Pemprov Banten akan mempertahankan sekuat tenaga keberadaan LP2B di Provinsi Banten.
Kebijakan Gubernur Banten WH patut disyukuri karena Pemprov Banten sangat konsen akan perlindungan pertanian dan konservasi air serta pesisir.
Dalam perda Nomor 5/2017 mengenai RTRW Banten untuk jumlah RTH belum terlihat transparan berapa persentasenya. Kalau untuk besaran jumlah lahan pertanian di Banten sekitar 162.000 hektar. Kita harapkan dijaga, jangan sampai LP2B Kabupaten Tangerang seluas 29.295 ha diganggu, apalagi sudah ada Perda Perlindungan Pertanian Banten Nomor 5/2014.
Maraknya alih fungsi wilayah resapan air di area lahan konservasi air dan pertanian yang tidak terkendali di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten diduga akan mengancam dampak ekologis seperti intrusi air laut dan Banjir serta kelestarian swasembada pangan dan merosotnya produktivitas pertanian .
Tidak ada perubahan, LP2B untuk lahan pertanian di Banten. masih mengacu kepada Perda Perlindungan Lahan LP2B Provinsi Banten Nomor 5 Tahun 2014 dimana sudah jelas di Pasal 11 ayat 1, luas lahan LP2B yang ditetapkan 169.515,47 ha.
Seharusnya juga Gubernur melalui Dinas Pertanian Banten juga menjelaskan, alih fungsi lahan di Banten harus dicegah, kerena sudah diatur oleh pemerintah sesuai dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Saatnya segenap masyarakat penggiat serta legislatif dan negara mempunyai komitmen yang sama terhadap penegakan konsistensi hak publik, yang gandrung mengedepankan dampak minimun, serta implikasi negatif dari pembangunan yang tidak pro lingkungan hidup dan rencana kawasan strategis nasional dimana tidak lengkapnya konsideran RTRW dan Perda Zonasi Pesisir yang diduga tidak selaras dan bertentangan dengan RTRW Nasional, RTRW Banten dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP2K).
Penelitian Anna Karenina dari Institut Pertanian Bogor pada 2016 merekam laju ekstrem perubahan lahan di Tangerang. Penelitian itu, yang merujuk pada naskah RTRW Kabupaten
2011-20131, mencatat luas lahan sawah di Kabupaten Tangerang yang ada saat ini mencapai 37.255 hektare, namun yang ‘dipertahankan’ dalam RTRW hanya seluas 29.295 hektare.
Dengan kata lain, terdapat sekitar 7.960 hektare lahan sawah yang didukung perubahan fungsinya oleh RTRW. Padahal, Kabupaten Tangerang termasuk lumbung pangan nasional, dengan pertanian tercatat sebagai penyumbang terbesar kedua pada pendapatan asli daerah, setelah industri pengolahan.
Gambaran itu sekaligus menghadirkan paradoks baru. Padahal, sudah ada aturan yang mencegah terjadinya pengalihan lahan demi mepertahankan kemandirian wilayah serta lingkungan. Aturan itu termasuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Bahkan, untuk memperkuat aturan itu, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga telah mengesahkan sebuah beleid yang mencakup perlindungan bagi petani, termasuk pemberian asuransi atas kegagalan panen.
Saatnya moratorium atau penghentian dengan segera alih fungsi lahan hijau khususnya Tangerang Utara segera di laksanakan demi terwujudnya program Tangerang gemilang yang mengedepankan kepentinangan ketahanan pangan.***