Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tol Kataraja Kebutuhan Infrastruktur Publik atau Ladang Bisnis ?

Minggu, Januari 13, 2019 | 21:06 WIB Last Updated 2021-09-27T10:41:23Z
Tol Kataraja Kebutuhan Infrastruktur  Publik atau Ladang Bisnis ?


Rencana  pemerintah pusat yaitu Jalan Tol Kamal -Teluknaga-Rajeg (Tol Kataraja) yang di perakarsai oleh PT Duta Graha Karya akan melintasi satu Kecamatan di Jakarta Utara dan Kabupaten Tangerang.

Pembangunan tol sepanjang 39,9 kilometer ini dikhawatirkan akan memberi implikasi  merusak lahan persawahan produktif dan konservasi air Tangerang Utara.

Kekhawatiran itu memantik respon warga saat acara konsultasi publik untuk menganalisis dampak lingkungan (AMDAL) pembangunan di aula kantor Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Kamis 5 April 2018 lalu.

Geliat para pelaku bisnis mulai mengincar daerah di pinggiran Jakarta, seperti Kabupaten Tangerang. Salah satu daya tarik Kabupaten Tangerang adalah dekat dengan Jakarta dan memiliki daerah industri yang tertata.

Yang paling penting untuk kegiatan perekonomian dan kegiatan bisnis adalah sarana Bandara yang terletak di Tangerang, dan jalan tol yang menghubungkan Pulau Jawa. Ketersediaan infrastruktur yang memadai adalah kunci untuk menarik investasi.

Rencana Tol Kataraja yang menghubungkan kawasan Cikupa – Rajeg – Bandara Soekarno Hatta sepanjang 25-30 km, merupakan rencana jalan tol lingkar utara yang dimulai dari Cikupa, Rajeg dan Mauk yang akan terkoneksi dengan jalan tol Sedyatmo atau kawasan Bandara Soekarno Hatta. Terakhir, jalan tol yang menghubungkan Sepatan Timur – Pakuaji, Teluknaga, Kosambi dan Bandara Soekarno Hatta.

Potensi kelautan di wilayah Bagian Utara belum tergali maksimal. Dengan panjang pantai yang lebih dari 51 kilometer, bisa dibayangkan besarnya potensi kawasan pergudangan, properti, niaga, pariwisata dan industri kelautan di Kabupaten Tangerang.

Idealnya, secara legal formal Kementerian PUPR dan Komisi Amdal Kementerian LHK RI perlu menolak usulan pemerakarsa AMDAL karena ternyata secara faktual belum terbitnya konsideran legal dari Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah atau RTRW Kabupaten Tangerang dan belum terbitnya Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Banten  RZWP3K Ini menjadi sangat penting untuk keselarasan dan kajian konsideran mengenai pola ruang dan pemanfaatannya yang pro publik.

Apalagi adanya implikasi dari banyak lahan persawahan lahan produktif yang terpakai untuk perlintasan Tol Kataraja. Jadi, harus ada kajian akademis dan yuridis termasuk belum terbit pengesahan Perda RTRW Kabupaten Tangerang yang saat ini masih di evaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri, juga terkait belum terbitnya Raperda Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP3K) Banten yang masih dalam pembahasan pansus DPRD Banten.

Belum lagi bicara implementasi UU 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan serta kompensasi yang tidak jelas perihal lahan pertanian pengganti karena luasan yang berkurang.

Rencananya pembangunan jalan Tol Kataraja melintasi delapan kecamatan meliputi Kecamatan Penjaringan (Jakarta Utara), Kecamatan Kosambi, Kecamatan Teluknaga, Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Sukadiri, Kecamatan Mauk, Kecamatan Rajeg dan Kecamatan Sindang Jaya (Kabupaten Tangerang).

Terkait menunjang pembangunan di Kabupaten Tangerang dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk Tol Kataraja, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) saat ini sedang mengevaluasi draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang dan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir agar selaras dengan Pemprov Banten dan pemerintah pusat.


Kepala Bappeda Banten, di era Hudaya Latuconsina dalam statemennya, mengatakan bahwa RTRW Kabupaten Tangerang sebelum menjadi lembaran daerah pengesahannya akan dievaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri.

Ada sekitar 11,8 persen penyesuaian yang akan dilakukan oleh pihaknya untuk menyelaraskan RTRW Banten dengan kebijakan pemerintah pusat.

Saat ini 11 persen sudah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat, 0,8 persen lainya sedang disesuaikan.

Saat disinggung soal, apakah revisi ini juga mempengaruhi besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bappeda Banten, 11/11/2017 menyatakan Pemprov Banten akan mempertahankan sekuat tenaga keberadaan LP2B di Provinsi Banten.

Kebijakan Gubernur Banten WH patut disyukuri karena Pemprov Banten sangat konsen akan perlindungan pertanian dan konservasi air serta pesisir.

Dalam perda Nomor 5/2017 mengenai RTRW Banten untuk jumlah RTH belum terlihat transparan berapa persentasenya. Kalau untuk besaran jumlah lahan pertanian di Banten sekitar 162.000 hektar. Kita harapkan dijaga, jangan sampai LP2B Kabupaten Tangerang seluas 29.295 ha diganggu, apalagi sudah ada Perda Perlindungan Pertanian Banten Nomor 5/2014.

Maraknya alih fungsi lahan konservasi air dan pertanian yang tidak terkendali di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten diduga akan mengancam kelestarian swasembada pangan dan merosotnya produktivitas pertanian .

Tidak ada perubahan, LP2B untuk lahan pertanian di Banten. masih mengacu kepada Perda Perlindungan Lahan LP2B Provinsi Banten Nomor 5 Tahun 2014 dimana sudah jelas di Pasal 11 ayat 1, luas lahan LP2B yang ditetapkan 169.515,47 ha.

Dinas Pertanian Banten juga menjelaskan, alih fungsi lahan di Banten harus dicegah, kerena sudah diatur oleh pemerintah sesuai dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.

Saatnya segenap masyarakat penggiat serta legislatif dan negara mempunyai komitmen yang sama terhadap penegakan konsistensi hak publik, yang gandrung mengedepankan dampak minimun, serta implikasi negatif dari rencana kawasan strategis nasional Tol Kataraja dimana tidak lengkapnya konsideran RTRW dan Perda Zonasi Pesisir yang diduga tidak selaras dan bertentangan dengan RTRW Nasional, RTRW Banten dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP2K).

Penelitian Anna Karenina dari Institut Pertanian Bogor pada 2016 merekam laju ekstrem perubahan lahan di Tangerang. Penelitian itu, yang merujuk pada naskah RTRW Kabupaten
2011-20131, mencatat luas lahan sawah di Kabupaten Tangerang yang ada saat ini mencapai 37.255 hektare, namun yang ‘dipertahankan’ dalam RTRW hanya seluas 29.295 hektare.

Dengan kata lain, terdapat sekitar 7.960 hektare lahan sawah yang didukung perubahan fungsinya oleh RTRW. Padahal, Kabupaten Tangerang termasuk lumbung pangan nasional, dengan pertanian tercatat sebagai penyumbang terbesar kedua pada pendapatan asli daerah, setelah industri pengolahan.

Gambaran itu sekaligus menghadirkan paradoks baru. Padahal, sudah ada aturan yang mencegah terjadinya pengalihan lahan demi mepertahankan kemandirian wilayah serta lingkungan. Aturan itu termasuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Bahkan, untuk memperkuat aturan itu, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga telah mengesahkan sebuah beleid yang mencakup perlindungan bagi petani, termasuk pemberian asuransi atas kegagalan panen.

Negara sudah tidak on the track menjadi pelindung rakyat yang butuh keadilan dalam penegakan hukum tata ruang dan tata kelola linggkungan hidup dalam dimensi kemanusiaan yang adil dan beradab. Wallahu Alam Bissawab. ***

Oleh: 
Budi Usman (Penulis Direktur eksekutif komunike Tangerang Utara)
×
Berita Terbaru Update